I La Galigo telah
melanglang buana di belahan dunia sejak tahun 2004.
Oleh seorang
sutradara teater kontemporer berkewarganegaraan Amerika bernama Robert Wilson
lakon ini dipentaskan di berbagai panggung teater kelas dunia dalam
rentang tujuh tahun, mulai dari Singapura, Amsterdam, Barcelona, Madrid,
Lyon, Ravenna, New York, Jakarta, Melbourne, Milan, hingga Taipe.
Robert Wilson hanya mengambil secuplik sureq (serat) I La Galigo yang dianggap sebagai naskah sastra terpanjang di dunia. Kitab berbahasa Bugis klasik ini memiliki panjang lebih dari 300 ribu baris, dua kali lebih panjang dibanding Mahabharata dan Ramayana. Peneliti dari Belanda, Roger Tol, mengatakan, I La Galigo juga memiliki gaya bahasa yang indah.
Dan untuk pertama kalinya akhirnya I La Galigo pulang kampung. Di tanah kelahirannya sendiri pada tanggal, 23-24 April 2011 lalu di Fort Rotterdam Makassar, I La Galigo dipentaskan di hadapan masyarakat Sulawesi Selatan dengan disutradarai oleh Robert Wilson.
Robert
Wilson berharap, pementasan I La Galigo di Makassar bisa memberikan
inspirasi bagi masyarakat Sulawesi Selatan untuk melanjutkan karya besar
ini dalam bentuk lain. Robert Wilson, adalah produser film dan drama
Romoe dan Juliet, serta The Life and Times of Joseph Stalin dan nominasi drama untuk Pulitzer Prize (1986).
Hikayat I La Galigo
Dari catatan di Wikipedia, Sureq Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo
adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi
Selatan yang ditulis di antara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi
bahasa Bugis kuno, ditulis dalam huruf Lontara kuno Bugis. Puisi ini
terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal-usul
manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari.
Epik
ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi
lisan dan masih dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis
penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan pada
abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat
serangga, iklim atau perusakan. Akibatnya,
tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian
yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks,
membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar. Epik ini
mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan
juga perantau.
La
Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan
peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap
memberikan gambaran kepada sejarawan mengenai kebudayaan Bugis sebelum
abad ke-14.
Versi bahasa Bugis asli Galigo sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang.
Sejauh ini Galigo hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya.
Hanya sebagian saja dari Galigo yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia, dan tidak ada versi lengkapnya dalam bahasa Inggris
yang tersedia.
Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat yang tersimpan di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi pemilik lain.
Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat yang tersimpan di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi pemilik lain.
![]() |
Salinan Sureq Galigo |
Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia.
Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru.
La Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru.
La Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara
Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar
Batara Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe
atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama.
Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading
digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat
yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku),
Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga, Jawa
Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur
dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam
gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari
pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading
adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo,
juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau,
pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat
orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I
La Galigo tidak pernah menjadi raja.
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'.
Isi
epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai
Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu.
Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing.
Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.
Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing.
Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.
La Galigo di pentas dunia
La Galigo sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh sutradara Robert Wilson setelah diadaptasi oleh Rhoda Grauer. Pertunjukan ini telah dipertunjukkan sejak tahun 2004 di Asia, Eropa, Australia dan Amerika Serikat.
Rhoda Grauer (sumber gambar Wikipedia) |
Creative Director Bali Purnati Centre, Restu Iman Kusumaningrum,
orang yang mengusulkan I La Galigo dibawa ke pentas dunia, mengatakan,
Robert Wilson memilih bentuk pertunjukan opera. Itu karena ia ingin
memberikan kebebasan kepada penikmatnya untuk mencerap dan merasa.
"Kekuatan
karya Robert bukan pada kata-kata, melainkan pada kepiawaiannya
mengajak kita memainkan imajinasi," katanya. Drama I La Galigo memang
tidak banyak memunculkan kata-kata. Kekuatan cerita hadir melalui
harmonisasi musik tradisional, permainan cahaya, dan gerak. Satu-satunya
penutur adalah seorang bissu (pendeta non gender) Bugis di sudut depan
panggung. Itupun dengan bahasa Bugis klasik. Namun untuk memudahkan
penikmatnya, alur cerita dijelaskan dengan display runing text di bagian atas panggung.
Peneliti dan penterjemah naskah I La Galigo, Muhammad Salim
(alm), pernah mengakui, Robert memang tidak menghadirkan I La Galigo
yang utuh. Robert berani mengawinkan beberapa unsur kesenian dari daerah
lain seperti Tari Pajoge dari Makassar dan Bone, Pagellu dari Toraja,
dan Pamanca dari Gowa. Adalah komponis Jawa Rahayu Supanggah yang melakukan riset yang intensif di Sulawesi Selatan.
Rahayu Supanggah (sumber Wikipedia) |
Bahkan
ada adopsi karakter punakawan dari seni wayang Jawa. Para pengawal I La
Galigo yang dalam cerita aslinya adalah orang-orang yang tegas, diubah
menjadi karakter kocak seperti tokoh Petruk dan Gareng dalam wayang. Ini
memberi kesegaran di tengah alur yang magis dan kontemplatif. Intinya, I
La Galigo di tangan Robert hadir sebagai seni pertunjukan kontemporer.
Untuk
menciptakan ekspresi dramatis yang lebih baik, instrumen Jawa dan Bali
lainnya ditambahkan ke dalam lima instrumen Sulawesi tradisional
aslinya, dan instrumen lain yang baru juga dibuat, sehingga akhirnya
terdapat 70 instrumen yang dimainkan oleh 12 musisi.
Para pelaku produksi pentas ini terdiri dari 53 pemusik dan penari yang semuanya datang secara ekslusif dari Indonesia dan sebagian besar dari Sulawesi, serta salah satu dari sedikit pendeta tradisional bissu (pendeta non gender) Bugis, yang tersisa dari komunitas non gender Bugis, Puang Matoa Saidi yang menceritakan sebagian dari cerita.
Para pelaku produksi pentas ini terdiri dari 53 pemusik dan penari yang semuanya datang secara ekslusif dari Indonesia dan sebagian besar dari Sulawesi, serta salah satu dari sedikit pendeta tradisional bissu (pendeta non gender) Bugis, yang tersisa dari komunitas non gender Bugis, Puang Matoa Saidi yang menceritakan sebagian dari cerita.
Pementasan
I La Galigo di Makasar hanya berlangsung sekitar 30 menit. Ini hanya
sebahagian dari kisah lengkap Sureq Galigo. Dan inti cerita dari 12
adegan yang ditampilkan dalam pementasan ini, menggambarkan kisah cinta terlarang tokoh utama, Sawerigading dengan saudari kembarnya We Tenriabeng yang perjalanannya mampu mengusir nafsu yang dapat menghancurkan kerajaan Luwu.
Tokoh
penting yang membacakan sureq (naskah), Puang Matoa Saidi dalam
pementasan I La Galigo telah menghafal sembilan naskah dialog yang
dibebankan sutradara dalam pementasan itu. Puang Matoa Saidi adalah pemimpin tertinggi komunitas Bissu (pendeta non gender)
di Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulsel. Ia menjadi pusat perhatian banyak
pencinta teater internasional sejak Puang Saidi terlibat dalam
pementasan teater Galigo yang telah pentas di Belanda, Italia, Amerika,
Singapura, Perancis dan negara dunia lainnya.
Puang Matoa Saidi (sumber gambar Wikipedia) |
Pementasan
Galigo di Makassar, tutur dia banyak mengalami perubahan mulai
perlengkapan ritual hingga kostum yang digunakan dirinya telah dipakai
barang-barang yang asli, bukan lagi aksesoris milik tim kreatif
pementasan Galigo.
“Panitia
telah mengijinkan saya memakai perlengkapan ritual milik saya di
kampung. Saya sudah sewa mobil ke Segeri, membawa alat-alat yang biasa
dipakai ritual disini,” ucap Saidi dengan dialek bugisnya yang masih
cukup kental. Meskipun tidak seluruh perangkat ritual yang digunakan
dalam pementasan itu, dia mengaku sudah cukup lega karena aksesoris yang
digunakan sudah sesuai dengan adat masyarakat bugis.
“Seperti sanggul di kepala saya tidak pakai plastik lagi, tetapi sudah pakai sanggul yang asli,” ujar dia.
Robert
Wilson dianggap sanggup mengemas legenda I La Galigo itu menjadi sebuah
tontonan kosmopolitan. Kekuatannya, antara lain, terletak pada
kemampuan Robert Wilson memainkan pencahayaan dan artistik. Pada
pementasan di Benteng Rotterdam Makassar, adegan penciptaan bumi
ditingkahi gradasi warna biru seolah membawa penonton pada sebuah
keheningan yang subtil.
Pementasan
lakon ini memberikan rasa bangga khususnya bagi orang Bugis sebagai
pemilik mitologi I La Galigo. ”Kami harus berterima kasih kepada
orang-orang yang telah mementaskan legenda Sawerigading ke luar negeri.
Mitologi Bugis yang tersisa dalam serpihan-serpihan ingatan itu bisa
dikenal dunia,” ujar Asdar Muis, budayawan muda Sulawesi Selatan.
Yayath Pangerang, pekerja budaya asal Luwu, berharap lakon ini terus mengembara di panggung dunia untuk memperkenalkan tradisi Bugis. ”Secara
alamiah, Sawerigading memang pengembara. Jadi, biarkan dia (legenda)
berkeliling dunia agar dia menjadi mata air kebudayaan. Kemasannya mau dibikin seperti apa dan dipentaskan oleh siapa tidak lagi penting. Yang penting, tradisi Bugis dikenal orang.”
Ikrar Andi Mohammad Saleh,
dosen Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar, yang juga
generasi ke-4 Arung/ Raja Belo—sebuah kerajaan Palili di
Soppeng—mengatakan, pementasan I La Galigo memberikan kebanggaan
terutama bagi orang Bugis.
”Ini baru kulitnya,
masih jauh dari esensi mitologi I La Galigo yang sangat kaya dan
menjadi pijakan nilai hidup bagi orang Bugis. Derivasi (turunan) dari
naskah itu sebenarnya sangat kaya, yakni mengatur mulai dari pertanian, lingkungan, sampai hubungan seks suami istri,” ujarnya.
Meski
demikian, pementasan ini bisa dijadikan pintu masuk untuk menguak lebih
dalam tabir mitologi I La Galigo yang sebagian besar belum diketahui.
”Kita harus terus mendalami I La Galigo agar orang tidak menyangka
mitologi ini isinya sebatas kisah cinta Sawerigading seperti lakon yang
dipentaskan.”
From the world stage to find it's way home,
begitulah tagline-nya. Setelah dipentaskan di 11 negara, drama I La
Galigo akhirnya pulang ke rumah. I La Galigo telah menjadi kebanggan
dunia, semoga di tanahnya, ia juga menjadi kebangaan bangsa Indonesia.
Semangat untuk mengenal dan menggalinya juga merupakan semangat untuk
menemukan dan membangun karakter bangsa, agar bangsa ini kian kuat
berpijak di buminya sambil menjujung langitnya. (Edisantana/Wikipedia).